Selasa, 14 Januari 2014

Perpisahan Dalam Diam

Perpisahan Dalam Diam

Dia yang namanya pernah muncul setiap mentari pun belum terbangun. Dia yang suaranya selalu terngiang-ngiang dan tak mau lepas merengkuh sang daun telinga. Dia yang ucapannya bagaikan untaian mutiara yang terikat kuat di seluk beluk saraf memori. Dia yang senyumnya mampu mencairkan malam-malam terbeku. Dia yang bayangnya selalu dikerjar dalam mimpi semu.
Dia yang kini namanya telah menjadi fosil yang diabadikan di musim hatiku.

Dia yang kini terpaksa harus kurelakan dalam kepasrahan waktu.

Harus aku ucapakan selamat tinggal. Dia. sebuah iya dalam tiada.

Ironis. Bahkan dia yang namanya kupekikkan, tiada tahu adanya sebuah perpisahan. Miris. Bahkan dia yang kupandang dalam selayang pandang tiada tahu adanya kehilangan. Karena memang, kau tidak bisa merasa kehilangan pada sesuatu yang tak pernah kaumiliki. dalam diam, diam-diam sebuah keheningan telah menjadi simfoni maut untuk menjemput sang harapan untuk kembali ke rengkuhan sang takdir yang mampu menguburnya dalam-dalam.

Dua tahun lebih selama kita saling mengenal, kita berbicara dalam kehampaan perasaan. Kita berbicara tentang obrolan yang bagai makanan ringan. Dan yang tersisa, kini tinggal mimpi kosong yang merongrong dalam omong kosong.

Kau tidak perlu mengerti. Karena sudah berkali aku berlari padamu, yang kudapat hanya janji artifisial. Kau begitu manis di ujung perabaan, dan pahit di akhir penjiwaan. Aku telah mengunci hati ini, sebelum sempat kau mendengar bisikan lirih hatiku. Kau terlalu abu-abu bagiku.

Kau tidak perlu tahu. Karena aku tidak akan mengangkat senjataku. senjataku tidak akan pernah berpeluru. karena keberaniaku tiada mahu.

Maka dengan berat hati, seiring perpisahan kita di pertemuan bangku sekolah menengah, aku harus merelakanmu bahagia, meski tanpa aku di sisimu. Karena aku tahu, realita berkata segalanya. Kau dan aku, adalah sebuah ketidakmungkinan jarak waktu.

Dan ini adalah perpisahan tersunyi dalam sepanjang sejarah hidupku. Sebuah perpisahan seorang diri tanpa bersahutan. Aku yang harus merangkak pergi dalam kepasrahan, dan kau yang bergeming dalam ketidaktahuan.

Sampai jumpa rembulan malam yang telah mengelam. Remahan mentarimu sudah habis kau beri padaku. semua pelita yang kau punya, selama setahun lebih telah kau beri. Terimakasih atas lambaian tanganmu dulu, dan lekuk ranum senyummu yang pernah menghiasi hari-hari sekolah menengahku.

Semoga kau tahu.

~Untuk kau yang tidak pernah tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar